Senin, 14 Januari 2019

Analisis Tarif Bea Masuk Optimal bagi Produk Pertanian Indonesia

Nama Kelompok 2 :
1. Dian Retno Adya Pangestika (11215849)
2. I Made Kresna Juniawan (13215197)
3. Iis Santika Santung (13215240)
4. Ria Sasmita (15215876)

Kelas 4EA23
Mata Kuliah : Manajemen Pemasaran Global

Judul Jurnal: Tarif Bea Masuk Optimal Bagi Produk Pertanian Indonesia
Publikasi    : Agriekonomika, ISSN 2301-9948
e ISSN 2407-6260
Volume 4, Nomor 2
Penulis: 1. Dian Dwi Laksani
              2. Rizky Eka Putri
Tahun : 2015

Analisis berdasarkan SAP Manajemen Pemasaran Global:
Variabel Penelitian: Tarif bea masuk optimal ( Variabel X) dan Produk pertanian Indonesia (Variabel Y).
Metode Penelitian: Tarif domestik memiliki hubungan yang erat dengan profit, terutama berkaitan dengan badan usaha yang memiliki orientasi ekspor atau impor. Baggsdan Brander (2006) dalam studinya menganalisis mengenai efek perubahan tarif karena melakukan Free Trade Agreement (FTA) terhadap pendapatan dalam hal ini pendapatan industri di Kanada dengan menggunakan Mode Regresi. Model yang digunakan yaitu:


Hasilnya yaitu ketika tarif domestik turun, maka profit juga akan ikut menurun. Hal ini disebabkan pintu impor terbuka lebih lebar karena turunnya tarif memicu adanya lonjakan impor. Begitu juga dengan penurunan tarif bea masuk di luar negeri diasosiasikan dengan kenaikan profit terutama untuk badan usaha dengan orientasi ekspor.

Salah satu tujuan dasar yang ingin dicapai dari adanya kerjasama perdagangan bebas antar negara (FTA) adalah pengurangan tarif bea masuk. tarif akan bertindak layaknya biaya tambahan atau pajak yang harus ditanggung dalam impor barang. Sehingga, penurunan tarif suatu negara dapat juga dilihat sebagai pengurangan biaya bagi barang impor yang masuk di negara tersebut. Penurunan tarif, selain menjadi insentif bagi importir juga menjadi dorongan bagi pengusaha di dalam negeri untuk dapat lebih bersaing dengan barang impor, yang pada akhirnya jikalau tidak pandai dalam bersaing dapat mengurangi profit mereka.

Studi ini menggunakan Panel Data Ordinary Least Square (OLS). Gujarati (1995) mengatakan bahwa model dapat dikatakan baik jika hasil regresi yang telah didapat kemudian diuji melalui uji ekonometrika dan uji statistik. Uji ekonometrika diantaranya uji autokorelasi, uji multikolinear dan uji heteroskedastisitas. Uji statistik digunakan pada model penduga melalui uji F, sedangkan parameter-parameter regresi dapat diuji melalui uji t, serta uji koefisien determinasi. Model estimasi panel data yang digunakan dalam studi ini adalah sebagai berikut :


Data ini merupakan data Produksi (ton/ha) dikalikan dengan harga (ton). Model estimasi panel digunakan untuk melihat pengaruh tarif bea masuk produk impor pertanian terhadap produksi atau penjualan dari produk pertanian di Indonesia. Selain melihat pengaruh dari tarif, studi ini juga menghitung besarnya tarif optimal untuk produk-produk pertanian Indonesia. Hasil dari estimasi panel data kemudian dihitung dengan menggunakan model optimal tarif untuk mendapatkan besaran tarif optimal dan batas tarif (threshold) yang masih bisa diterima oleh produk-produk pertanian Indonesia.

Sumber data berasal dari data sekunder, yang meliputi data kuantitatif tahunan pada rentang waktu 1993-2011. Produk pertanian yang dimaksud dalam studi ini adalah padi dan palawija, sayur-sayuran dan buah-buahan. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka (library research), berupa dokumen atau arsip yang di dapat dari World Bank, Badan Pusat Statistik (BPS) serta data perdagangan yang diambil dari TradeMap.

Hasil dan Pembahasan:
Tarif Bea Masuk (TBM) adalah sejumlah nilai yang dibebankan terhadap adanya importasi suatu barang/komoditi kedalam suatu negara. Setiap Negara sebenarnya berhak menentukan besaran TBM yang dikehendaki terhadap suatu produk/komoditi, berbagai kerjasama bilateral membatasi besaran tersebut tidak lebih dari nilai tertinggi yang disepakati (binding rate). Untuk komoditas pertanian, besarnya TBM telah disepakati dengan instansi terkait serta pelaku usaha di bidang pertanian.

Kebijakan tarif bea masuk untuk produk pertanian adalah menerapkan nilai serendah mungkin apabila produk/komoditi yang bersangkutan tidak dapat diproduksi secara optimal di dalam negeri. Sebaliknya untuk produk pertanian yang perlu diperkuat daya saingnya di dalam negeri, dikenakan tariff bea masuk yang tinggi sesuai dengan aturan WTO. Oleh karena itu diperlukan suatu kebijakan tarif optimal untuk produk pertanian.

Dalam studi ini dilakukan studi empiris untuk melihat pengaruh tarif bea masuk produk impor pertanian terhadap produksi atau penjualan dari produk pertanian di Indonesia. Selain melihat pengaruh dari tarif, studi ini juga menghitung besarnya tarif optimal untuk produk-produk pertanian Indonesia. Hasil estimasi model adalah sebagai berikut:

SALES = 1.620.000 TARIFF + 80.200.000 LINCPT + 26.100.000 LHARGA
T-ratio (4.11) (6.60) (7.96)
F (3) : 325,58
R2 : 88,00%

Berdasarkan hasil estimasi, terlihat bahwa tarif dapat mempengaruhi nilai penjualan (sales) petani. Penjualan petani di sektor pertanian akan terpengaruh oleh seberapa besar tarif yang diterapkan oleh pemerintah. Jika pemerintah meningkatkan level tarif, maka secara langsung penjualan produk pertanian di level petani juga akan meningkat. Dari hasil estimasi diperoleh koefisien estimasi sebesar 1,62 juta. Hal Ini berarti jika pemerintah menaikkan tarif sebesar 1 persen, maka secara langsung akan menikmati peningkatan pendapatan  sebesar Rp. 1,62 juta /hektar. Sebaliknya jika pemerintah hendak menurunkan tarif, petani juga akan langsung merasakan dampak berupa penurunan penjualan. Jika pemerintah menurunkan tarif sebesar 1 persen, maka petani juga akan mengalami penurunan pendapatan sebesar Rp. 1,62 Juta /hektar.

Secara riil, kondisi ini bisa terjadi karena produk-produk pertanian domestik cenderung kurang kompetitif. Jika dihadapkan pada persaingan langsung dengan produk-produk asing, maka umumnya produk-produk domestik akan kalah bersaing. Semakin besar pemerintah menurunkan tarif berarti semakin besar pemerintah menghadapkan petani pada persaingan bebas. Semakin besar level tarif yang diturunkan berarti semakin besar petani akan kehilangan pendapatannya. Konsumen akan cenderung beralih pada produk- produk impor yang umumnya memiliki kualitas lebih baik, sehingga petani domestik akan kehilangan pembeli. Secara langsung, pengurangan pendapatan ini tentunya akan berimbas pada penurunan kesejahteraan petani.

Selain pengaruh dari kebijakan tarif, hasil estimasi menunjukkan bahwa penurunan penjualan petani juga dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia (LINCPT) dimana pengaruh penurunan pertumbuhan ekonomi terhadap penjualan ternyata lebih besar dibandingkan pengaruh yang diberikan tarif terhadap penjualan. Oleh karena itu penting bagi pemerintah agar menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam rangka menjaga level penjualan di tingkat petani. Pertumbuhan ekonomi yang stabil, dinamis, dan terus tumbuh positif akan berkontribusi secara langsung pada kontinuitas penjualan produk- produk pertanian. Imbasnya, hal ini akan terasa dalam wujud peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Kontinuitas pertumbuhan ekonomi ini bisa dilakukan melalui sejumlah hal. Yang pertama, pemerintah harus menjaga level konsumsi masyarakat. Menurut Laporan Tahunan Bank Indonesia (2015), konsumsi masyarakat merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi sekitar 56 persen  dari total produk domestik bruto (PDB), sehingga kontinuitas pertumbuhannya akan berpengaruh sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi secara umum. Masyarakat harus didorong untuk melakukan konsumsi, terutama konsumsi produk-produk domestik milik petani. Kedua, pemerintah bisa mendorong lebih banyak investasi. Lebih banyak investasi, baik asing maupun domestik, berarti akan ada semakin banyak lapangan pekerjaan yang tersedia untuk masyarakat. Ini berarti masyarakat akan memiliki semakin banyak pendapatan, yang berarti semakin besar peluangnya untuk membeli produk- produk pertanian domestik. Ketiga, pemerintah bisa menggunakan konsumsinya sendiri untuk mendorong pertumbuhan.

Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan proyek-proyek strategis bidang pertanian seperti perbaikan infrastruktur dalam rangka meningkatkan produktivitas petani dan memperlancar arus barang. Keempat, pemerintah bisa menjaga surplus neraca perdagangan. Ekspor yang lebih besar dari impor akan berkontribusi positif pada pertumbuhan  ekonomi yang selanjutnya akan berpengaruh pada peningkatan penjualan petani. Hal ini bisa terjadi dengan mendorong ekspor produk-produk pertanian Indonesia ke  luar negeri.

Pada akhirnya, Produk-produk pertanian Indonesia belum cukup kompetitif untuk bisa diajukan di dalam perundingan kerjasama internasional. Oleh karena itu, tampaknya belum cukup waktu bagi Indonesia untuk membuat usulan tentang penurunan tarif produk pertanian. Jauh lebih baik jika Indonesia mempersiapkan diri agar produk-produk pertanian bisa lebih kompetitif di masa depan. Hal ini akan lebih menyuarakan kepentingan produsen-produsen pertanian di dalam negeri yang belum siap menerima persaingan dari negara lain. Indonesia tidak perlu memaksakan diri untuk meliberalisasi sektor pertaniannya jika memang secara riil belum siap.